Wednesday 25 April 2012

Berislam Tanpa Ghuluw!




oleh: Kholili Hasib

ISLAM merupakan satu-satunya manhaj yang lurus (al-sirāt al-mustaqīm). Karakter ini lah yang berbeda dengan tipe agama-agama sebelumnya. Ajaran agama sebelumnya dikoreksi al-Qur'ān disebabkan mereka bersikapghuluw (berlebih-lebihan). Seperti Nasrani yang menuhankan Nabinya. Sikap ini yang dijauhi Islam. Peringatan itu telah disampaikan Rasulullah Shallahu 'alihi wa sallam: "Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama." (HR. Imam Ahmad, hadis shahih).
Ghuluw adalah sikap melampaui batas kebenaran. Sesuatu yang berlebih-lebihan pasti akan keluar dari jalan yang lurus. Ibn Hajar mengatakan: "Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas." (Fathul Bāri, 13, hal. 278).
Sikap ghuluw telah lama menjangkiti umat-umat terdahulu. Sebelum Nabi Muhammad, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan.
Allah berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?"
Inilah sikap ghuluw, seorang nabi dilebih-lebihkan menjadi dipertuhankan. Mereka melampau batas (had) yang telah ditentukan Allah. Adakalahnya ghuluw itu mulanya dilakukan oleh orang-orang yang baik, bertujuan mengabdi kepadanya. Hanya saja, karena tidak berilmu, semangat yang berlebihan tidak terarahkan.
Jadi ghuluw dalam beragama adalah sikap melampau batas-batas dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang diinginkan syariat. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas'ud Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14).
Seperti pendapat Imam Fakhruddin al-Rāzi, ghuluw yang dilarang di sini adalah ghuluw madzmūm (sikap berlebihan yang dikecam). Yaitu ghuluwun bāthil. Imam al-Rāzi mencontohkan ghuluw madzmūm ayat al-Qur'an surat al-Mā'idah: 77:


قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ

Katakanlah: "Hai Ahlul Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."
Secara umum, ghuluw dalam agama itu dilarang. Akan tetapi yang dilarang itu yang telah melampaui batas syari'at seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Mereka melewati batas-batas kebenaran, sehingga mengeluarkannya dari agama yang diridlai. Adapun ghuluw yang dilakukan dalam kerja penelitian, meneliti hakikat sesuatu dan berusaha menemukan argumentasi yang tepat sebagaimana yang dilakukan oleh mutakallimun menurut Imam al-Razi disebut ghuluw mahmūdah (yang terpuji).
Sikap ghuluw madzmūmah (tercela) itu melingkupi ghuluw dalam ibadah, ghuluw dalam hukum takfir, ghuluwdalam akidah dan ghuluw dalam hidup.
Pertamaghuluw dalam Ibadah. Yaitu mewajibkan dirinya kepada sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Mengharamkan sesuatu untuk dirinya, padahal Allah tidak pernah mengharamkan untuknya, atau ada pula yang terlalu berlebihan melaksanakan ibadah sunnah tapi kewajiban-kewajibannya dilalaikan. Seperti mengharamkan dirinya untuk tidak menikahi wanita dengan tujuan untuk beribadah secara total. Sikap seperti ini meski maksudnya baik, akan tetapi karena melampau batas, maka sikap tersebut mengeluarkan dari jalur kebenaran.
Seperti kisah seorang sahabat Nabi Muhammad yang mengaku di depan Nabi bahwa dia shalat malam tidak berhenti-berhenti, puasa setiap hari dan tidak menikah. Rasulullah pun terperangah dengan sikap ekstrim tersebut. Beliau melarang sikap tersebut. Beliau memberi saran, cukup laksanakan apa yang telah diperintahkan syariat.
Keduaghuluw dalam hukum takfir. Selama seorang Muslim itu mengamalkan ijtihad fiqh para ulama, maka ia tidak boleh dikafirkan. Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama tidak sampai kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut subuh, jumlah shalat tarawih dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif).
Adapun jika seseorang telah keluar jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka otoritas hukum tentu menghukumi kafir.
Ketigaghuluw dalam akidah. Ghuluw jenis ini seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab. Menuhankan para nabinya. Dan kaum nabi Nuh yang menyembah matahari, bulan dan bintang padahal mengaku percaya pada Allah. Dalam hal ini, para ulama' menyebut kaum Yahudi paling ekstrim. Mereka adalah kaum yang sangat mudah menyamakan makhluk dan khaliq (pencipta), menyamakan Allah dengan manusia. Di antara kaum juga ada yang berlebihan mencintai pemimpin hingga menyematkan sifat ketuhanan kepadanya.
Keempatghuluw dalam kehidupan. Di antaranya, makan, minum dan memakai air secara berlebihan. Rasulullah melarangnya: "Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari pada perutnya. Hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya. Jika tidak bisa, maka makanlah sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napasnya." (HR Tirmidzi).
Meskipun, ghuluw jenis ini tidak sampai mengancam keislaman seseorang, akan tetapi hal ini tetap dilarang. Akibatnya, bisa menjerumuskan seseorang kepada kerusakan diri, kesehatan dan kehidupannya.
Seseorang bersikap ghuluw disebabkan karena bebarapa hal. Bisa dikarenakan kekurangan ilmu dan tidak memahami hakikat agama.
Seseorang yang enggan menikah dengan alasan agar lebih konsentrasi dalam beribadah, itu disebakan tidak memahami konsep nikah dan ibadah. Di antara fenomena ghuluw disebabkan tidak memahami hakikat agama adalah memahami nash agama dengan satu pandangan yang sempit serta mengesampingkan persoalan yang lebih besar yang menimpa umat (Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharruf).
 Bisa pula disebabkan oleh fanatisme buta dan sempitnya wawasan. Oleh sebab itu, Islam itu ajaran yang komprehensif, maka setiap sesuatu dipandang secara integral dan berdasarkan ilmu.
Pada hakikatnya, Islam juga melarang orang untuk meremehkan (tafrīth) ajaran dan perintah agama. Orang meremehkan perintah agama juga akan jatuh kepada kekeliruan. Ajaran Islam merupakan ajaran yang lurus, tidak tafrith tidak pula ifrath. Karakter ini menyangkut setiap aspek, baik keyakinan, ibadah, akhalk, muamalah, dan kehidupan sehari-hari.*/Kholili Hasib 



Saturday 21 April 2012


Ahad, maghrib s/d isya:

Pekan-1: Kajian Aqidah-Akhlak [Ust. Ade Abdullah]
Pekan-2: Kajian Pendidikan Keluarga [Ust. Elvin Sasmita]
Pekan-3: Kajian Fiqih [Ust. Iwan Setiawan, Lc]
Pekan-4: Kajian Siroh Nabawiyah [Ust. Rofiq Hidayat, Lc]
Pekan-5: Kajian Tematik [Ust. Arham Ahmad, Lc, MA, al-Hafizh]

Sabtu, shubuh: Kajian Tafsir Munir [Ust. Drs. H. Ibnu Hajar]

Thursday 19 May 2011

Perbandingan Antara Masjid Dengan Gereja

oleh Buya Hamka



Dalam Islam tidak ada susunan cara kegerejaan. Tidak ada Paus, lalu Kardinal, dan Uskup. Setiap Masjid berdiri sendiri dengan pengurusnya sendiri. Di negeri-negeri Islam yang telah mempunyai susunan pemerintahan modern saja diadakan Kementerian Agama atau Kementerian Wakaf, yang mengadakan tilikan dan pemiliharaan Masjid-masjid.

Menteri Agama atau Menteri Wakaf itu bisa saja exit (keluar) dari jabatan Menterinya kalau terjadi krisis Kabinet atau Presiden (kepala negara) mengadakan reshuffle. Demikian juga petugas dalam masjid itu. Sejak dari Imam dan Khatibnya, tidaklah mereka itu 'Penguasa Rohaniyah' tempat jama'ah mengakui dosa lalu memberi ampunan dengan perantara mereka, lalu mereka berhak memberi ampun. Bahkan setiap orang Islam, dibuka oleh Allah pintu untuk berhubungan langsung dengan Allah, memohon ampun meminta taubat.

Imam-iman dalam Masjid pun, siapa saja berhak menjadi imam asal lidahnya lebih fasih dan dia disegani. Imam Rawatib di tiap masjid, bukanlah kepala agama, melainkan orang-orang yang ditugaskan oleh jama'ahnya atau oleh penguasa setempat mendirikan jama'ah lima waktu, supaya jangan sampai kosong.

Seorang Ulama dalam Islam bukanlah sebagai seorang Pendeta dalam Gereja Katholik atau lainnya. Ulama Islam adalah orang biasa yang mempunyai 'profesi' sendiri. Dia adalah seorang dari antara orang banyak bukan orang istimewa. Keseganan orang kepada mereka, hanyalah kalau Ulama itu memimpin dan membimbing mereka secara kerohanian. Dan tumbuhnya Ulama itu bukanlah karena diangkat atau diakui oleh suatu badan rohaniah atau satu masjid.

Setelah membandingkan di antara 'Kekuasaan Rohaniyah' Pendeta-pendeta dan Hierarchie kepercayaan itu dengan keadaan masjid dalam Islam, teranglah bahwasanya 'Pemisahan Negara Dengan Gereja' di Barat tidak dapat disandingkan untuk 'Memisahkan Negara dari Masjid' atau yang selalu disebut-sebut di negri kita ini sekarang, ialah 'Memisahkan Negara dengan Agama'. Menyamakan dua hal yang berbeda, adalah kena oleh pepatah 'Asing biduk, kalang di letak'.

Dalam Qur'an tegas diwajibkan agar setiap urusan dijalankan menurut Syari'at. Termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Kalau al-Qur'an menerangkan secara umum, As-Sunnah memberikan arti cara pelaksanaannya. Mana yang belum tegas menjelaskan:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya dita'ati dengan izin Allah." (QS. An-Nisaa' [4] : 64)

Dalam keteladanan Rasul Shallahu alaihi was sallam, Allah SWT berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

"Apa yang dibawa oleh Rasul, hendaklah kamu ambil. Dan apa yang dia kamu daripadanya, hendaklah hentikan." (QS. al-Hasyr [59] : 7)

Di ayat lainnya, Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu batalkan amalan kamu." (QS. Muhammad [47] : 33)

Kemudian Allah Ta'ala menambahkannya :

الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

"Apakah tidak engkau lihat orang-orang yang mengaku (dengan mulut) bahwa mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan dari yang sebelum engkau. Mereka ingin meminta hukum kepad taghut, padahal mereka diperintah supaya tidak mempercayainya. Dan setan ingin sekali menyesatkan mereka. Sampai sesesat-sesatnya." (QS. An-Nisaa' [4] : 60)

Mereka mengakui percaya hanya dengan mulut, dalam bahasa disebut Yaz'amuna! Mengaku dengan mulut percaya kepadaapa yang diturunkan kepada Nabi SAW dan kepada yang diturunkan kepada Nabi-nabi yang terdahulu. Tetapi, ketika hendak meminta keputusan hukum, bukanlah mereka meminta kepada Allah, melainkan kepada taghut. Yaitu penguasa yang berlaku dan bertindak sewenang-wenang, sekehendak hati, hukum rimba. Padahal, seorang yang beriman wajib menentang segala macam pertaghutan di dunia ini. Dan bila sekali merek atelah mengikut taghut dan meninggalkan hukum Tuhan mereka akan sesat selama-lamanya.

Orang yang beriman sejati kepada Muhammad Shallahu alaihi wassallam tidaklah mungkin meninggalkan hukum yang diajarkan Muhammad Shallahu alaihi wassallam, lalu menukarnya dengan yang lain. Tidaklah pantas mereka meminta hukum kepada taghut.

Kadang-kadang manusia telah menjual keyakinan dan agamanya kepada intrik-intrik dan ambisi penguasa, ambisi partai, sehingga hilang hakekat kebenaran. kadang-kadang dijalankan suatu peraturan yang terang melanggar ketentuan agama, tetapi terpaksa diterima juga, karena telah terlalu banyak berhutang budi kepad kaum Kapitalis.

Orang yang beriman didorong oleh kekuatan imannya tidaklah akan ragu-ragu menolak peraturan dan hukum taghut itu. Tuhan telah memerintahkan kepada Mu'min supaya menolak dan menentang taghut! Bagaimana Mukmin akan tunduk kepada hukumnya? Kalau mereka tunduk kepada taghut, maka ayat ini telah menjelaskan bahwa imanya hanya dibibir saja. Demikian juga orang yang menerima hukum-hukum buatan manusia yang terang bertentangan dengan hukum Allah. Kalau mereka turuti peranturan demikian, mereka telah disesatkan oleh setan.

Iman tidaklah sempurna sebelum si Mu'min tunduh patuh dan ridha menerima hukum Allah.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka tidaklah, demi Tuhan engkau tidaklah mereka beriman, sebelum mereka mentahkimkan engkau pada perkara-perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri keberatan menerima keputusan engkau, dan mereka menyerah, sebenar menyerah." (QS. An-Nisaa' [4] : 65)

Tidak ada jalan lain bagi seorang Mu'min, melainkan hanya tunduk dan patuh setelah jatuh hukum dari al-Qur'an atau as-Sunnah. Karena imannya itulah yang mendorongnya mengatur langkah menurut tuntutan syara'.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan kepada pemegang kuasa di antara kamu. Maka jika berselisih kamu di dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan kepada Rasul, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat." (QS. An-Nisa' [4] : 69)

Dalam ayat ini diberikanlah tuntutan tegas kepada seorang Mu'min. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW diperintahkan jelas. Tetapi, kepada Ulil Amri atau pemegang kekuasaan (penguasa) di antara kamu, tidak disebutkan mesti taat, sebab dengan kekuasaannya itu dengan sendirinya ketaatan telah timbul.

Itulah asas yang paling pokok di dalam Islam, yang sangat berbeda dengan ajaran Gereja yang memberikan kewenangan dan ketaatan kepada Paus, Kardinal, dan Uskup. Wallahu'alam.

Wednesday 6 April 2011

Ikhwan, Salafi dan Tabligh Sepakat Bersatu



Senin, 04 April 2011

Hidayatullah.com--Para ulama Badan Perwakafan, Al Ikhwan Al Muslimun, Salafi, Jama’ah Al Islamiyah serta Jama’ah Tabligh berkumpul di Aswan Mesir untuk membentuk sebuah badan yang berfungsi untuk menyatukan umat Islam di Mesir, dari berbagai komunitas dan organisasi, demikian lansir onilsam.net (3/4)

Pasca revolusi 25 Januari, Al Ikhwan Al Muslimun propinsi Aswan telah membentuk badan khusus yang bertujuan untuk memperkuat ukhuwah antar jama’ah dan organisasi Islam. Para anggota badan ini, yang terdiri dari berbagai jama’ah menyebutkan bahwa masih-masing akan menghormati perbedaan antar jama’ah, akan tetapi mereka bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati.

Sebagai langkah permulaan, para anggota Badan “Persatuan Islam” ini, beserta sekjennya melakukan silaturrahim ke beberapa jama’ah. Pertemuan sekaligus melaksanakan shalat Isya’ pada pekan mendatang rencananya di lakukan di Anshar As Sunnah, yang berhaluan Salafi.

Sedangkan agenda yang lebih besar direncanakan terselenggara pada tanggal 24 April mendatang di stadion Port Said, yakni mu’tamar yang diikuti oleh para tokoh sentral berbagai organisasi dan jama’ah Islam di Mesir. Hal itu dilakukan untuk merumuskan program-program yang bisa melibatkan seluruh kelompok tersebut.

Hanya saja yang belum bergabung dalam badan ini adalah jama’ah Sufi. Namun, hal itu karena masalah teknis saja, karena banyaknya kelompok Sufi di propinsi tersebut. Saat ini, pembicaraan sudah sampai pada tahapan siapa yang bakal mewakili mereka dalam badan ini. Sebagaimana juga telah dilakukan kunjungan pengurus badan ini kepada Syeikh As Sayyid Hasan Idris selaku tokoh Sufi di Aswan, seperti yang dijelaskan oleh Sekjen organisasi ini , Prof. Majdi Abu Uyyun.

Saat ini sudah 3000 tokoh dari berbagai jama’ah dan organisasi Islam Mesir telah bergaung dalam organisasi ini.*

Sumber : onislam.net
Rep: Thoriq
Red: Cholis Akbar

Monday 7 February 2011

Dahsyatnya Sholat Shubuh

Dibalik pelaksanaan dua rokaat di ambang fajar, tersimpan rahasia yang menakjubkan. Banyak permasalahan yang bila dirunut, bersumber dari pelaksanaan shalat subuh yang disepelekan. Itulah sebabnya, para sahabat Nabi berusaha sekuat tenaga agar tidak kehilangan waktu emas itu. Pernah, suatu ketika mereka terlambat shalat subuh dalam penaklukan benteng Tsatar. “Tragedi” ini membuat sahabat semisal Anas bin Malik selalu menangis bila mengenangnya. Kemudian Anas berkata, “Buat apa Tsatar? sungguh shalat subuh telah berlalu dariku. Sepanjang usia, aku tidak akan bahagia seandainya dunia diberikan kepadaku sebagai ganti shalat ini!”

Pernah dikisahkan pula, salah seorang penguasa Yahudi yang menyatakan bahwa mereka tidak takut dengan orang Islam kecuali pada satu hal. Ialah bila jumlah jamaah shalat subuh menyamai jumlah jamaah shalat jum’at. Orang Yahudi lebih jeli terhadap kondisi kita daripada diri kita sendiri.

Jikalau seandainya ada seorang kaya raya berjanji akan memberi anda uang setiap hari pada pukul empat pagi sebesar 1 juta rupiah jika anda datang tepat waktunya, apakah anda akan mendatanginya? Apakah anda akan beralasan bahwa anda tidur terlambat, atau karena anda terikat dengan janji setelahnya, sehingga anda tidak bisa datang?


” Dua rakaat fajar (shalat sunnah sebelum subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya” (HR. Muslim)

“………., Dan jika mereka mengetahui apa yang tersimpan di dalam shalat subuh dan isya’ maka mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak (HR. Bukhari)

Rasullullah bersabda:
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan(subuh dan Isya’) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat” (HR. Abu Dauwud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

“Waktu shalat Subuh dari terbit fajar sampai terbit matahari.” (HR. Muslim)

“Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia telah melaksanakan shalat Subuh.” (HR. At-Tirmidzi)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
(Al-Isra’ [17]:78)

”Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan medatangi keduanya sekalipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin menyuruh melaksanakan shalat, lalu shalat itu ditegakkan, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat bersama orang-orang. Kemudian beberapa lelaki berangkat bersamaku dengan membawa kayu yang terikat, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya dua shalat ini (Subuh dan Isya’) adalah shalat yang berat bagi orang munafik. Sesungguhnya, apabila mereka mengetahui apa yang ada dalam shalat Subuh dan Isya’, maka mereka akan mendatanginya, sekalipun dengan merangkak.” (HR Ahmad dan An-Nasa’i)
“Barang siapa yang shalat Isya’ berjamaah maka seakan-akan dia telah shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat Subuh berjamaah (atau dengan shalat Isya’, seperti yang tertera dalam hadits Abu Dawud dan Tirmidzi’) maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat malam satu malam penuh.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang shalat dua waktu yang dingin maka akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari)

Note: Dalam Fath Al-Bari disebutkan bahwa yang dimaksud dengan shalat “Al-Bardaini” (dua waktu dingin) adalah shalat Subuh dan Isya.
Dari Jarir bin Abdullah:

“Kami sedang duduk bersama Rasulullah, ketika melihat bulan purnama. Beliau berkata, ‘Sungguh, kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan yang tidak terhadang dalam melihatnya. Apabila kalian mampu, janganlah kalian menyerah dalam melakukan shalat sebelum terbit matahari dan shalat sebelum terbenam matahari. Maka lakukanlah.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Note: Dalam kegelapan maksudnya: shalat Isya’ dan shalat Subuh.

“Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda: Setan akan mengikat ujung kepala kalian ketika sedang tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatan setan akan dibisikkan, “Kamu masih memiliki malam panjang, maka tidurlah.” Jika engkau bangun dan mengingat Allah, maka akan terlepaslah ikatanmu yang pertama. Apabila engkau kemudian berwudhu, maka akan terlepaslah ikatan kedua. Dan jika engkau melakukan shalat, maka akan terlepaslah ikatanmu yang ketiga. Jika engkau tidak melakukan ketiga hal itu, niscaya hatimu akan menjadi sesat dan malas. (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda: Malaikat-malaikat malam hari dan malaikat-malaikat siang hari silih berganti mengawasi kalian, dan mereka berkumpul pada saat shalat Subuh dan shalat Ashar, kemudian malaikat-malaikat yang mengawasi kalian semalam suntuk naik (ke langit). Allah menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, “Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat, dan kami datangi mereka dalam keadaan mengerjakan shalat pula.” (HR Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i)

Utsman bin Affan ra. menuturkan, “Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa yang shalat Isya’ berjamaah, seolah-olah bangun setengah malam (seperti shalat separuh malam). Siapa yang shalat Subuh berjamaah, maka bagaikan shalat semalam penuh.” (HR Muslim)

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.

Dua rakaat shalat sunnah Subuh lebih baik daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya. (HR Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Jabir bin Abdullah al-Bajalli berkata, “Kami berada di samping Nabi saw. pada suatu malam, maka Nabi melihat bulan purnama sambil berkata, “Kalian akan melihat Tuhan sebagaimana kalian melihat bulan ini, tidak silau karena melihatnya. Maka sebisa mungkin, jangan sampai dikalahkan untuk shalat sebelum terbit matahari (Subuh) dan sebelum terbenamnya (Ashar). Cepatlah kamu kerjakan!” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya dan bertanya, Apakah kamu dengar azan shalat? Ya, jawabnya. Datangilah, kata Rasulullah SAW.

*Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat ‘Id) pada hari ‘Id melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat tersebut melalui jalan yang berbeda.” (H.R. Tirmidzi)

**Salah satu hikmah dari anjuran tersebut adalah menyebarkan syiar Islam di segala sudut kota atau desa, membantu keperluan penduduk yang dilewati, menyebarkan salam kepada penduduk yang dilewati, membuat geram orang-orang munafik, menyaksikan tempat-tempat yang dilalui untuk dijadikan pelajaran.

Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.

“Setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 2382)

“Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua rakaat, [dengan tidak menyibukkan dirinya dalam pelaksanaan shalat tersebut urusan dunia, maka akan diampuni dosanya yang telah berlalu] (HR. Bukhari, Muslim)

Rasul bersabda: ”Siapa yang berwudhu di rumahnya, kemudian dia berjalan menuju salah satu mesjid untuk menunaikan shalat wajib, maka di setiap langkahnya akan menghapuskan dosa dan kesalahan serta mengangkat derajatnya........dengan wudhu yang sempurna, maka kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan seorang hamba akan keluar dari badannya hingga keluar dari ujung-ujung kukunya” (HR Muslim)

Subhanallah.

ref: Ibnu Iswanto